Negara atau pemerintah seharusnya dapat berlaku adil. Negara harus melindungi warganya dan memberikan hak sesuai pilihan/preferensi keyakinan agamanya
Nikah beda agama |
Hal itu disampaikan Ahmad Nurcholish, aktivis kebhinekaan dan fasilitator nikah beda agama, saat berbicara pada diskusi bertema Duduk Perkara Nikah Beda Agama, di Jakarta (3/8), diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA.
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), ucap Ahmad, mengabaikan adanya keragaman tafsir agama tentang pernikahan beda agama. Menurut Ahmad Nurcholish, riset lembaganya pada 2005, 2010, 2020 menunjukkan adanya kemajemukan atau keragaman tafsir/pandangan dalam komunitas agama-agama tentang pernikahan beda agama (PBA).
“Banyak yang melarang, tetapi tidak sedikit yang membolehkan PBA,” papar Nurcholish, yang aktif di Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP). Nurcholish menjelaskan, dalam Islam pun ada tiga tafsir tentang PBA. Yakni: dilarang/diharamkan secara mutlak; dibolehkan bagi lelaki muslim, tidak sebaliknya; dan dibolehkan secara mutlak.
“Bagi yang mengikuti tafsir atau pandangan agama yang melarang PBA, dilindungi haknya untuk tidak menikah beda agama. Sedangkan, bagi yang mengikuti tafsir atau pandangan agama yang membolehkan PBA, juga harus diberikan haknya untuk menikah sesuai keyakinan tersebut,” sarannya.
Ahmad Nurcholish, aktivis kebhinekaan dan fasilitator nikah beda agama |
Jadi, melihat sejarah, ungkap Ahmad, PBA di Indonesia sudah ada sejak abad ke-8 era Mataram kuno. Rakai Pikatan (Hindu Siwa) menikah dengan Pramodawardhani (Buddha), untuk menyelaraskan hubungan dua kerajaan, Dinasti Sanjaya dan Saelendra. Lalu, pada abad ke-10, ada pernikahan Ken Arok (Raja Singasari, Hindu) dan Ken Dedes (Buddha). Peristiwa luar biasa ini dicatat oleh para sejarawan (dh).
Foto: Isitmewa