Tak terbayangkan di masa hampir 15 tahun usai kemerdekaan 1945, Indonesia bisa mendatangkan alat utama sistem senjata (alutsista) berupa kapal selam (
RP Poernomo di atas kapal selam |
Strategi Presiden Soekarno memborong selusin kapal selam saat itu bukan tanpa sebab dan tanpa perencanaan matang. Karena Indonesia yang baru saja merasakan kemerdekaan, dengan segudang kekayaan alam dan posisi strategisnya, sedang menjadi perhatian pengaruh kekuatan asing (saat itu ada blok Barat dipimpin Amerika Serikat atau AS dan Timur oleh US).
Adalah Laksamana Pertama (Purn.) Raden Pandji Poernomo, perwira pertama yang mengenyam pendidikan selama setahun di Gdynia Oksiwi, Polandia (1958-1959). Kemudian Poernomo diangkat sebagai komandan Kasel RI Tjakra 401, sekaligus bagai Komandan Kasel pertama DI ALRI.
Pada September 1959, Poernomo ditunjuk sebagai Komandan Divisi Kapal Selam ( DIVKASEL) di Komando Armada. Lalu 1 November 1959 ditunjuk sebagai komandan Sekolah Kapal Selam Angkatan Laut (SEKASAL). Saat menjabat Komandan Kapal Selam pertama, pangkat Poernomo masih Mayor.
Poernomo yang kelahiran Surabaya, 18 Agustus 1926, dan di saat Kemerdekaan (1945) Ikut berjuang dalam pembentukan Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR) sebagai anggota pasukan “L” - Cikal Bakal TNI AL di Modderlust, Ujung Surabaya - langsung membuat perencanaan menyeluruh terkait semua pendukung kehadiran alutsista baru Kasel.
Di SEKASAL inilah, Poernomo pada 1961 menciptakan motto untuk awak Kasel, yaitu Tabah Sampai Akhir atau Wira Ananta Rudira. Makna dari motto tersebut, menurut Poernomo yang dituangkan dalam buku 60 Tahun Pengabdian Korps Hiu diterbitkan TNI AL (2019), adalah karena sifat kekhususan bagi awak Kasel, seperti pengintaian (reconnaissance), , pendaratan secara diam-diam (silent landing), penyerangan (shipping control), wolfpack, penerobosan daerah ranjau, war patrol, menahan serangan bom laut, dan lain-lain.
“Saya rasa berani saja tidak cukup. Ulet saja pun tidak cukup. Sabar saja tidak cukup. Tekun saja juga tidak cukup. Tenang saja pun tidak cukup,” jelas Poernomo, suami dari RA.Aminarti dan memiliki anak tunggal RP Raditya Poernomo.
Bersama isteri dan anak tunggalnya |
Berbagai operasi penyusupan dilakukan di Irian kala itu guna menciptakan efek gentar kepada dunia, khususnya kekuatan penjajah Belanda. Salah satu Kasel, RI Tjandrasa 406, berhasil mendaratkan sejumlah pasukan RPKAD (sekarang Kopassus) ke Irian.
Atas misi tersebut dalam operasi yang dinamakan Tjakra I dan II, seluruh awak RI-Tjandrasa menerima Bintang Sakti (tanda kehormatan tertinggi) dari Presiden Soekarno. Kekuatan TNI AL di bawah Soekarno di masa itu menjadi sangat disegani di Kawasan Asia khususnya.
Seiring bergantinya kekuasaan kepada Presiden Soeharto yang dalam kebijakan politik luar negerinya lebih condong ke AS atau pro blok Barat, maka semua bantuan yang datang dari US dibatasi (bahkan dilarang). Konsekuensinya, keberadaan selusin Kasel menjadi sulit beroperasi karena kelangkaan suku cadang.
Sedihnya lagi, dampak dari pertarungan politik di level kekuasaan antara Soekarno versus Soeharto, para pejabat tinggi di level manapun yang pro Soekarno dicopot, ditangkap dan bahkan ada yang “dihilangkan.” Poernomo pun terkena imbasnya. Ia sempat ditahan selama dua tahun (awal 1970) di Rumah Tahanan Militer Nirbaya, Jakarta Timur, karena dinilai loyalis Soekarno.
Saat sekolah Kasel di Polandia |
“Ayah lalu di rehabilitasi kehormatan nama baiknya. Saat wafat November 2013, almarhum ayah dimakamkan secara upacara militer penuh,” jelas Raditya yang kini meneruskan warisan ayahnya menjadi Ketua Putra Putri Hiu Kencana (abriyanto).
Foto: Istimewa