Kebaya bukan lagi isu perempuan. Tetapi sudah menjadi isu bersama, di mana semua pihak berjuang bersama, bahu-membahu, bergotong royong, karena kebaya
Salah satu identitas Indonesia adalah Kebaya |
Hal ini diutarakan Nury Sybli, aktivis literasi., ketika sebagai pembicara dalam diskusi bertema Budaya Bangga Kebaya di Era Modern di Jakarta (10/8). Diskusi diinisiasi Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, diketuai Denny JA. Serta dipandu oleh Amelia Fitriani.
“Banyak perempuan atau ibu-ibu mau pakai kebaya lagi, tetapi suaminya tidak mendukung. Ini juga menjadi ganjalan. Maka peran laki-laki juga penting, untuk mendorong agar kebaya betul-betul menjadi pakaian perempuan Indonesia,” tutur Nury, yang menyebut kebaya adalah buku kehidupan. Kebaya adalah petuah ibu. Jadi bukan semata pembungkus tubuh atau pakaian biasa.
“Kalau kita ke Jambi, Riau, bukan cuma kebaya tetapi juga ada baju kurung. Di Minang juga ada kebaya labu. Ada berbagai macam jenis kebaya dan semua punya pemaknaan sendiri-sendiri,” tambahnya.
Jadi, untuk menghidupkan kembali kebaya, menurut Nury, dibutuhkan sebuah strategi konkret. Bukan sekadar diwajibkan memakai kebaya di acara-acara tertentu. Kalau pemerintah serius mau menghidupkan kebaya, Nury berharap, mesti membuat program-program konkret, disinergikan dengan berbagai lembaga pemerintah.
Bisa dilakukan sinergi misalnya: Kementerian Pendidikan, Kementerian Perempuan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Koperasi dan UMKM. Karena kebaya juga menjadi industri ekonomi yang sangat langsung dirasakan ibu-ibu rumah tangga dan rakyat kecil.
Nury Sybli dengan kebaya |
Nury menjelaskan, dalam pandangan umum masyarakat kita, mereka melihat kebaya identik dengan kondangan. Kalau kita pakai kebaya di angkutan umum, ditanya mau kondangan ke mana, atau habis kondangan dari mana. Pandangan umum ini juga diselebrasi oleh pemerintah (dh).
Foto: Istimewa