Pengalaman menjadi seorang dokter di Papua memang begitu berbeda dengan di daerah lainnya. Terlebih, dilakukannya begitu lama lebih dari 30 tahun. Ini
Dokter FX Sudanto di usianya lebih 80 tahun tetap melayani pasien di Abepura |
Sudanto yang lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada 1975, langsung ditawari tiga lokasi untuk penempatannya saat itu, yakni Papua, Kalimantan Tengah atau Timor Timur (sekarang Timor Leste). Sudanto lalu memilih ke Papua.
Ia sempat dijuluki dokter “Seribu Rupiah”, karena tak memasang tarif khusus untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Papua yang mayoritas mengalami kesulitan keuangan saat ingin berobat. Berikut petikan wawancara IndonesiaMandiri (IM) bersama Sudanto (SDT) yang mengabdi tanpa batas di Provinsi Paling Timur Indonesia:
IM. Mengapa dahulu dokter memilih Papua?.
SDT. Saya pilih Papua yg jauh dari Jawa. Tahun 1975 sudah di Papua dan menunggu SK Gubernur kira-kira enam bulan untuk ditempatkan di Asmat. Pada 1976 saya ke Asmat, di Puskesmas Agat, peninggalan rumah sakit Belanda. Saya harus membawahi empat kecamatan yaitu Sawa Erma, Agats, Ats dan Pirimapun. Di empat kecamatan ini ada banyak kampung, harus naik speed boat lewat sungai yang lebar atau melalui laut. Ini sejumlah kampung pernah saya datang dan memberi pengobatan: Sawa Erma, Buagani, Yamas, Ewer, Ayam, Syuru, Per, Us, Yepem, Biriten, Warse, Amborep , Yaosokor , Amanamkai , Biwar laut , Simsagar , Pirien, Ocenep, Basim , Kamur , Yaptambor , Santambor, Bayun, Kayirin , Pirimapun, Tareo, Semendoro, dan lain-lain....
SDT. Saya sebagai kepala Puskesmas Agat 1976, membantu beberapa tamatan SPK (Sekolah Perawat Kesehatan). Tidak ada bagian apotik , KIA , vaksinasi. Tidak ada kertas, tidak ada cap. Dokter hanya memberi obat. Artinya kalau sakit malaria hanya diberi obat 2 biji, bukan 10 tablet kloroquin. Kalau rasa pahit nanti dibuang. Orang sakit luka hanya disuntik. Kalau diverban nanti sebentar masuk sungai cari ikan, sudah hilang lagi. Orang berobat membayar dengan kayu bakar atau sagu sekepal tangan. Banyak orang sakit malaria, kurang gizi, batuk, tbc (BTA positip saya priksa sendiri dg cat gram tampak batang merah ), polio dan lain-lain.
Dulu Kekurangan obat dibantu misi katolik Amerika. Soal makan sangat sulit. Yang ada sagu, tidak ada garam. Ada susu kental di kios. Tidak ada sayur-sayur karena tanah rawa asin. Saya pernah cabut kangkung rawa untuk bikin sayur. Ada ikan di laut tapi tidak ada orang jual ikan. Kalau ada ikan dibeli dengan sepotong kecil tembakau lempung. Minum air hujan. Tidak ada hiburan. Paling lihat kios jual rokok Sauris.
IM. Berapa dahulu digaji?
SDT. Gaji dokter hanya 50.000. Karena Merauke jauh, gaji dua bulan hanya diterima satu bulan. Setelah 3 tahun kerja di Puskesmas Agat, saya disuruh kerja di Bayun, masih daerah Asmat, di Rumah Sakit Katolik St Odilia. Saya kerja sendiri dibantu satu orang kampung, namanya Safo dan suster biarawati bagian melahirkan anak. Rumah sakit ini dapat bantuan dari dr Gunther yang menyumbang alat foto rontgen. Karena saya harus foto thorax sendiri dan mencuci film sendiri. Disini ada dokter Jerman yang ikut belajar penyakit tropis.
IM. Berikutnya tugas dimana lagi?
SDT. Setelah 3 tahun, saya disuruh pindah ke Abepura. Karena pada 1982 dokter masih sedikit dan saya kerja di rumah sakit umum dan rumah sakit jiwa Abepura. Akhirnya saya kerja sendiri di rumah sakit jiwa selama 20 tahun sambil menunggu ahli penyakit jiwa. Lalu ada ketambahan mengajar di beberapa perguruan tinggi , mulai dari STFT Fajar Timur, D3 Keperawatan, Politeknik Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Sekolah Analis USTJ. Selama di Abepura saya juga praktek swasta sebagai dokter.
IM. Lalu soal biaya tarif pengobatan, yang kami dengar dokter memberi pelayanan sangat murah?
SDT. Di Abepura saya praktek dokter swasta tarif mulai Rp 500, 1000 hingga 2000. Saya bisa merasakan orang tidak punya uang , karena waktu sekolah, merasakan hidup serba kurang .
SDT. Tanggapan istri terhadap pengabdian saya, ia tidak kaget. Karena istri asal Asmat (orang tuanya dari Manado dan Maluku ) juga hidup sederhana. Waktu baru datang di Abepura anak baru satu kelahiran di Asmat. Sekarang saya tetap tinggal di Papua. Orang tua saya sudah almarhum semua sebelum saya jadi dokter. Dan orang tua berkata, di mana-mana kalau bisa makan ya hidupnya senang .
IM. Pesan untuk dokter yang sekarang?
SDT. Kalau ingin kaya jadi pedagang. Jangan jadi dokter (abriyanto).
Foto: Istimewa