Pemahaman masyarakat tentang kitab suci harus disesuaikan dengan perkembangan zaman Bogor/Jabar ( Indonesia Mandiri ) – Perkembangan teknolo...
Pemahaman masyarakat tentang kitab suci harus disesuaikan dengan perkembangan zaman |
Demikian intisari pandangan yang disampaikan Tuan Guru Haji (TGH) Munawar M. Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Kampung Al-Quran, Pamijahan, Bogor, dalam diskusi dan bedah buku karya Ahmad Gaus yang berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google", beberapa waktu lalu
Selain menghadirkan narasumber Ahmad Gaus sebagai penulis buku, acara dihadiri puluhan santri, para ustadz, dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Bogor dan Jakarta. Buku mengenai pemikiran Denny JA itu mengupas berbagai isu dari hasil penelitian kuantitatif.
Gaus mengakui tertarik menulis mengenai pemikiran Denny JA soal fenomena keagamaan karena ia (Denny JA) bukan ulama atau ahli agama, melainkan seorang ilmuwan sosial dan ahli riset. Dengan begitu pandangannya mengenai agama akan menunjukkan corak yang berbeda, dan memberi kontribusi dari arah disiplin ilmu sosial.
Banyak “agama” tertentu yang sepertinya, membolehkan pengikutnya melakukan kekerasan kepada pihak lain. Karena itu Gaus mengajak melihat gagasan Denny yang mengapresiasi ribuan kitab suci diwariskan 4300 agama saat ini. Jangan seperti kaum fundamentalis yang hanya memandang kitab suci sebagai kitab hukum, dan kaum sekuler yang melihat kitab suci sebagai dongeng.
Karena, mengutip pemikiran Denny, agama adalah warisan kekayaan kultural milik bersama umat manusia. Pandangan seperti ini merupakan antitesa terhadap pandangan teologis bahwa agama-agama adalah kebenaran mutlak. Sebab jika pemahaman mutlak seperti yang terus menerus diwariskan secara turun temurun, maka generasi masa depan akan mewarisi konflik agama.
Suasana diskusi di pesantren Kampung Al-Quran Pamijahan Bogor |
Cara memahami kitab suci juga bisa dengan cara lain. Misalnya dengan melihatnya dari segi sastra. Ujar Gaus, Denny JA sudah mengembangkan pandangan ini dengan memberi contoh bagaimana masyarakat modern dapat menikmati Mahabarata dan La Galigo sebagai karya sastra walaupun bagi orang yang mengimaninya itu adalah kitab suci (ma).
Foto: istimewa