Pasca konflik berdarah antar etnis di Sambas dan Sampit, Kalimantan, semua pihak mengambil pelajaran yang sangat berharga. Khususnya bagi etnis Madura
Konflik etnis di Kalimantan menjadi pelajaran berharga merajut persatuan |
Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Diskusi Satupena itu dipandu oleh Swary Utami Dewi dan Karyani Tri Tialani. Menurut Rosadi, seusai konflik itu pelan-pelan mulai tumbuh perkumpulan atau paguyuban-paguyuban. Seperti MABM (Majelis Adat Budaya Melayu), IKM (Ikatan Keluarga Madura), dan perkumpulan etnis-etnis lain seperti Tionghoa, Bugis. Mereka juga melakukan hal yang sama.
“Organisasi-organisasi ini menjadi sarana dialog antar etnis yang ada di Kalimantan Barat. Kalau ada acara-acara tertentu, diundang itu semua tokoh-tokohnya. Jangan sampai konflik-konflik antaretnis itu terulang lagi. Konflik itu sangat menyakitkan. Saya ketika masih mahasiswa, terjadi konflik. Kami waktu itu tidak bisa keluar gang,” kisah Rosadi.
Dr Rosadi Jamani, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat |
Orang Melayu berdemo dan memprotes keberadaan patung Naga di tengah kota Singkawang, yang didirikan oleh etnis Tionghoa. Tapi etnis Tionghoa tetap membela keberadaan patung itu. Etnis Dayak mendukung etnis Tionghoa.
“Kini patung Naga itu tetap bertahan kokoh dan malah menjadi ikon pariwisata di Singkawang,” papar Rosadi. Walikota Singkawang membangun tiga gerbang terpisah ke area patung, yakni gerbang untuk orang Tionghoa, Dayak, dan Melayu.
“Alhamdulillah, sampai saat ini tidak ada lagi konflik yang besar. Kalau pun ada konflik, sangat mudah dilokalisir dan didamaikan,” jelas Rosadi. Ini adalah cara pemerintah untuk membuat akur tiga etnis itu. “Kalau kita sekarang ke Singkawang, akan terasa keakuran dan berbaurnya etnis-etnis itu,” ungkap Rosadi (ma).
Foto: Istimewa