Diskriminasi oleh masyarakat terhadap warga Tionghoa berasal dari ketidaktahuan. Informasi yang tersedia sangat minim, dan informasi yang sudah minim
Azmi Abubakar pemuda muslim asal Aceh mendirikan museum Tionghoa |
Azmi menyatakan itu dalam Webinar di Jakarta (26/1), diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Diskusi Satupena itu dipandu oleh Anick HT dan Amelia Fitriani.
Menurut Azmi, diskriminasi Terhadap Tionghoa Berasal dari Informasi Sesat Warisan Orde Baru. Sehingga ketika terjadi krisis moneter dan ekonomi menjelang reformasi 1998, warga Tionghoa yang dituduh sebagai penyebab dan disalahkan.
Kerusuhan rasial terhadap warga Tionghoa pada 13-14 Mei 1998 menjadi salah satu pendorong bagi dirinya, untuk merintis berdirinya Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Azmi menyesalkan, serangan rasial terhadap warga Tionghoa saat itu seharusnya tak perlu terjadi, jika masyarakat memiliki informasi yang benar tentang peran dan kontribusi warga Tionghoa pada Indonesia.
Hal kedua yang mendorong langkah Azmi adalah bencana tsunami yang pernah menimpa Aceh dan menewaskan sekitar 200.000 orang. “Masyarakat Tionghoa membantu korban tsunami Aceh dan selama bertahun-tahun mendampingi pemulihan Aceh,” ujar pria asal Aceh ini.
Jadi, Azmi berpendapat, obat mengatasi diskriminasi itu adalah lewat pemberian informasi yang benar. “Diskriminasi terjadi karena informasi yang terbatas, bahkan sesat pula,” tegasnya. Oleh karena itulah, Museum Pustaka Peranakan Tionghoa berfokus pada pengumpulan dan penyebaran informasi yang benar tentang warga Tionghoa.
“Sejak mendirikan museum ini, saya menolak bantuan dari siapapun. Orang Tionghoa tidak boleh membantu. Pemerintah juga tidak boleh bantu. Anggaran untuk karyawan dan tempat ini dari kocek saya sendiri,” lanjut Azmi, yang punya bisnis konstruksi.
Banyak masyarakat belum memahami dengan benar peran warga Tionghoa di Indonesia |
Di era diskriminasi oleh Orde Baru, warga Tionghoa membatasi diri di olahraga yang mengandalkan individualitas, bukan kerja sama tim seperti sepakbola. Karena mereka takut selalu disalahkan (ma).
Foto: Istimewa/abri