Rasa teraniaya dan selalu menjadi korban merupakan elemen penting dalam mobilisasi politik identitas oleh kelompok-kelompok budaya atau agama. Hal itu
![]() |
Jangan sampai politik identitas tak menghargai keberagaman |
Webinar yang membahas ancaman politik identitas itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Dijelaskan Ali, perasaan terkalahkan, dihinakan dan dipinggirkan berdasarkan politik identitas memberi justifikasi bagi kelompok-kelompok agama atau kultural untuk membela diri.
Menurut Ali, karena gerakan keagamaan harus mendefinisikan diri mereka dalam kaitannya dengan kelompok budaya lain, perasaan terancam antara lain memberi kekuatan akan kebutuhan untuk bangkit dan membela kelompok yang bersangkutan.
“Sebuah insiden memalukan atau kekalahan, dapat menjadi batu loncatan untuk membangun kekuatan identitas yang lebih besar, lebih kuat, lebih bersatu, dan lebih bermakna secara politis,” tutur Ali.
Ali melihat bahwa tren terkini dalam Islam Indonesia menunjukkan, komunitas Muslim terekspos ke dalam media digital dan bergerak ke perjuangan untuk identitas. “Maraknya mobilisasi politik identitas tersebut menandakan karakter ideologis lama dari gerakan-gerakan ini untuk fokus pada identitas Islam,” ujarnya.
![]() |
Prof Ali Munhanif |
“Perubahan strategi kelompok Islamis telah dibingkai oleh penyesuaian strategis, untuk mengadaptasi perubahan teknologi di media sosial,” tutur Ali. “Politik identitas menjadi daya tarik untuk mobilisasi.”
Ditambahkan Ali, para pendukung protes berbasis identitas dari kelompok-kelompok Muslim mengadopsi taktik apa pun yang tersedia dan paling efektif dalam konteks sosial, politik, dan sejarah tertentu. Ini khususnya dalam pemanfaatan media sosial (dh).
Foto: Istimewa