Ketika peradaban Barat mundur, ada optimisme bagi munculnya peradaban dari Asia Tenggara. Namun banyak tantangan bagi munculnya peradaban dari Asia Te
Populasi muslim yang besar menjadi aset sekaligus beban |
Hal itu diungkapkan Prof Muhamad Ali, Ph.D., Associate Professor University of California, Riverside, dalam Webinar di Jakarta (22/9). Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA.
Muhammad Ali mengurai dan menganalisis pemikiran cendekiawan publik, Prof Dr Azyumardi Azra, CBE, yang belum lama ini wafat, tentang tantangan bagi kemajuan peradaban umat Islam di Asia Tenggara. Menurut Ali, Azyumardi melihat sikap mental konspiratif ini sebagai salah satu hambatan untuk kemajuan.
Pola pikir konspiratif melihat seolah-olah semua masalah di dunia Muslim disebabkan oleh faktor eksternal, seperti konspirasi Yahudi, Zionis, dan sebagainya. “Mereka bersikap defensif, apologetik, closed minded, yang melahirkan tindakan yang tidak produktif,” kata Ali.
Menurutnya, banyak orang Islam yang melakukan romantisisme. Mereka asyik melihat kejayaan Islam abad pertengahan di masa lalu, tetapi kurang melihat ke depan untuk memajukan peradabannya. “Seharusnya mereka berpikir progresif. Yakni, belajar dari sejarah masa lalu untuk visi dan misi ke depan,” kisahnya.
Makalah terakhir Azyumardi Azra yang batal dipresentasikan di Malaysia, berkaiatan dengan tema Islam kosmopolitan. Kalangan ilmuwan di kawasan ini mencoba melihat secara introspektif dan scholarly, apakah bisa berharap peradaban akan muncul dari Asia Tenggara atau Nusantara.
“Tetapi, apakah kuantitas yang besar ini juga menunjukkan kualitas?” tanyanya. Untuk mencapai kualitas peradaban, ada prasyarat-prasyaratnya. Jadi, jumlah populasi Muslim yang besar ini bisa menjadi aset, tetapi juga menjadi beban. “Masih banyak tantangan kemiskinan, pendidikan, dan sebagainya. Asia Tenggara juga masih bergantung pada sains dan teknologi Barat,” ungkap Ali (ma).
Foto: Istimewa