Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlihat melangkah maju untuk memastikan petani kecil dan guremlah, yang betul-be
Penulis berbincang dengan petani |
Mengapa hutan di Jawa menjadi fokus perhatian untuk segera dibenahi negara? Alasan krusialnya terungkap dalam paparan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL-KLHK), Bambang Supriyanto, pada Webinar Perhutanan Sosial Nasional (Pesona) 21 Juli lalu. Bambang menjelaskan, hutan di Pulau Jawa merupakan penyangga ekosistem yang penting. Selain itu, jutaan masyarakat miskin tinggal disana dan sekitar hutan secara faktual menggantungkan kehidupannya dari kawasan hutan negara.
Selama ini, seperti sudah diketahui, kawasan hutan negara di Jawa dikelola suatu BUMN sektor kehutanan. Baikkah hutan di Jawa selama dikelola BUMN tersebut? Memang ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Terlepas dari semua pro-kontra, lahan kritis di Pulau Jawa yang berada di kawasan hutan, menurut catatan KLHK seluas 472 ribu hektar.
Fakta lain yang tak kalah pentingnya, banyaknya masyarakat miskin tinggal di dalam dan sekitar hutan. Dari data Biro Pusat Statistik (BPS), 25.863 desa berada di sekitar kawasan hutan, ternyata 36,7% masuk kategori miskin. Angka kemiskinan di Pulau Jawa sendiri sebanyak 14 juta orang, atau setara dengan 52% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 26,5 juta penduduk (BPS, 2021).
Selain itu, para pegiat pemberdayaan masyarakat dan Perhutanan Sosial kerap melontarkan kritik akan adanya fenomena berupa praktik-praktik tertentu yang makin memberatkan kehidupan, bahkan meminggirkan petani kecil dan gurem di Jawa. Jadi, terlihat di sini ada berbagai problem ekologis dan sosial yang harus segera dibenahi Pemerintah.
Dengan berbagai pertimbangan, utamanya untuk menindaklanjuti mandat pembenahan tata kelola hutan di Jawa, maka KLHK menerbitkan aturan 'Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus' (KHDPK). Ini merupakan kebijakan perbaikan pengelolaan kawasan hutan di Jawa, diatur dalam Undang Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 125 ayat (7).
Kebijakan KHDPK mengatur 6 hal, termasuk Perhutanan Sosial. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pendekatan andil garapan. Pendekatan andil garapan dalam perhutanan sosial, menurut saya, merupakan sesuatu yang efektif, kreatif dalam menguatkan posisi para petani kecil dan gurem, karena faktual menggarap kawasan hutan negara.
Selama ini muncul pertanyaan bagaimana cara jitu untuk melindungi petani miskin yang betul-betul penggarap, dan tujuan kelolanya memang sangat mendasar, yakni mengelola lahan untuk bertahan hidup. Model "kesaksian" di antara petani yang memiliki andil garapan menjadikan pendekatan ini memiliki unsur partisipatori yang cukup kuat.
Suara tingkat tapak jelas menjadi kunci di sini. Sistem 'cross check' kesaksian bersama-sama petani tetangga garapan sekaligus merupakan sistem uji kesaksian yang bisa menguatkan siapa para petani yang betul-betul menggarap.Tentu saja ada batas luasan maksimal per andil yang bisa dikelola setiap petani untuk tujuan pemerataan dan keadilan -- utamanya di wilayah yang petaninya banyak, sementara luasan lahan sangat terbatas.
Andil garapan ini sifatnya memang individual. Namun pada saat semua yang memiliki andil sudah terpeta dan terdata, tingkatannya naik menjadi kelola kawasan, dengan kelembagaan berbasis Kelompok Perhutanan Sosial (KPS). Penguatan KPS yang menaungi para petani inilah lalu menjadi hal penting selanjutnya dalam rangka peningkatan kapasitas dan penguatan kohesivitas positif sesama anggota kelompok. Inilah yang perlu dilakukan dalam lingkup kelola kelembagaan.
Kemudian, dalam tahap awal, para pendamping, penyuluh dan mitra terkait diharapkan bisa melakukan pencermatan terhadap Rencana Kerja Perhutanan Sosial (RKPS) kelompok tersebut dalam rangka memastikan apakah RKPS ini sudah tepat dengan potensi, kemampuan kelola kelompok dan sebagainya. Dalam hal ini, aspek pendampingan harus makin diperkuat. Cakupan kerja Perhutanan Sosial pun bisa berkembang menjadi lintas sektoral maupun lintas wilayah.
Selain itu, nantinya akan ada pembagian peran para pihak untuk mendorong penguatan KPS sehingga kelompok bisa makin maju dan mampu mengelola hutan secara lestari dan memberi manfaat penghidupan bagi para petani tersebut. Akan ada urusan perbaikan kualitas produk, pasar yang baik, keberlanjutan usaha dan sebagainya. Semuanya ini tetap harus dijalankan berdasarkan prinsip keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial. Tentu saja model ataupun pendekatan ini harus terbuka untuk dievaluasi atau dikembangkan secara adaptif sesuai dengan kekhasan dan keunikan masing-masing lokasi kelompok tani.
Demikianlah, menurut saya, salah satu "kebaharuan" dan inovasi khas perhutanan sosial di Jawa, yang diyakini bisa cukup jitu, terutama untuk lokasi atau tempat yang rawan free rider, penduduknya banyak, namun lahan terbatas. Semua ini dimulai dari kepastian andil garapan.
Salah satu potret keluarga petani penggarap |
Oleh: Swary Utami Dewi
*Penulis adalah qanggota TP3PS, Pendiri NARA dan KBCF, Climate Leader Indonesia
Foto: Istimewa