persidangan Mahkamah Konstitusi kembali menerima gugatan Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold) 20% menjadi 0%. Kali ini, 27 Warga
Diasporat Indonesia yang tinggal diluar negeri harapkan hadir pemimpin akternatif saat Pilpres |
Dalam permohonannya yang diajukan pada tanggal 31 Desember 2021,secara daring, Para Pemohon menghendaki agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena telah membatasi hak masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden.
“Hadirnya Pasal 222 UU Pemilu telah mengakibatkan tertutupnya hak rakyat yang ingin maju mencalonkan diri menjadi presiden dan justru memperkuat oligarki partai politik. Akibatnya, partai politik cenderung mengabaikan kepentingan rakyat dan lebih memilih mengakomodir kepentingan para pemodal”, ujar Denny Indrayana, kuasa hukum pemohon dan Wakil Menteri Hukum dan HAM tahun 2011-2014.
Refly Harun menerangkan, salah satu alasan penghapusan presidential threshold adalah untuk menghilangkan budaya candidacy buying yang sudah menjadi rahasia umum dan sering terjadi pada proses pemilu, bahkan hingga pemilihan tingkat desa sekalipun. Refly menambahkan, fenomena ini terjadi karena mahalnya biaya politik, sehingga ambang batas tersebut menjadi komoditas transaksi dalam perhelatan pesta demokrasi (political transaction).
“Adanya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden hanya menjadi tiket oligarki untuk memenangkan kontestasi secara mudah dan murah. Hal ini justru menandai demokrasi kriminal dimana hanya yang berkuasa dan berduit lah yang dapat menentukan siapa-siapa saja yang dapat menjadi calon presiden”, terang Refly Harun, Ahli Hukum Tata Negara dan Pengamat Politik.
Pada dua periode pemilihan presiden sebelumnya di 2014 dan 2019, terdapat dua pasangan calon yang sangat erat kaitannya dengan elit partai politik. Ini jelas dampak nyata akibat adanya presidential threshold yang justru menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elit partai politik. Selain itu, ambang batas 20% juga telah menyebabkan polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. Tapi cenderung memecah belah masyarakat. Polarisasi dan perpecahan tersebut akan tetap terus terjadi bahkan justru menguat apabila ambang batas tidak dihapuskan.Masyarakat haru selalu diedukasi memahami latar pemimpinnya
Para pemohon sebagai diaspora Indonesia berharap, yakni tanah air dan kampung halaman mereka dapat tetap terbangun dengan terpilihnya pemimpin yang hadir dari masyarakat dan mewakili kepentingan masyarakat (ma).
Foto: Istimewa