Hari Dharma Samudera yang diperingati setiap 15 Januari oleh TNI AL, memiliki nilai strategis-historis. Karena terkait pertempuran Laut Aru saat Opera
Modernisasi Alutsista TNI AL perlu terus ditingkatkan |
Sayangnya pada era 70, 80, 90an, supremasi alutsista TNI AL khususnya, tak lagi bersinar. Kebijakan militer atau TNI pada masa awal Orde Baru dan kedepannya, lebih mengarah pada pendekatan keamanan continen atau di darat. Kekuatan militer Indonesia, kemudian, tak terlalu diperhitungkan lagi supremasi kekuatan lautnya dibelahan Asia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dihuni 17.499 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas perairannya terdiri dari laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman seluas 2,7 juta km atau 70% dari luas wilayah NKRI, menjadi pekerjaan rumah yang cukup menantang bagi TNI AL untuk menjaga halaman laut rumah NKR.
Terutama ketersediaan alutsista yang terkait menjaganya, seperti kapal perang permukaan untuk tempur, patroli, kapal angkut dan logistik maupun kapal selam. Faktor kekurangan dan minimnya alutsista dipengaruhi banyak hal mulai dari kebijakan anggaran negara, politik, kebijakan yang tanggung menjadi tantangan tersendiri untuk pemenuhan kebutuhan alutsista TNI AL.
Imbas dari kondisi diatas, berhadapan dengan negara lain, sering “dilihat sebelah mata” kehadiran kapal perang atau KRI kita. Ini kerap terjadi saat ada pelanggaran kedaulatan Indonesia, mulai dari illegal fishing, penyelundupan, penyerobotan batas teritori laut yang kerap terjadi oleh kapal asing dari negara lain.
Dari semua faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut, salah satu terpenting adalah kehadiran alutsista yang cukup dan siap beroperasi. Yaitu kesiapan/keberpihakan anggaran negara untuk pengadaan alutsista kapal perang tempur, patroli serta kapal pendukung tanker dan logistik untuk menunjang operasionalisasi kapal yang sedang bertugas melaksanakan patroli keamanan dilaut, sesuai doktrin pertahanan TNI AL dengan Sistem Senjata Armada Terpadunya (SSAT).
TNI AL sedang latihan bersama negara sahabat |
Hal itulah yg masih menjadi persoalan. Pada dua dekade terakhir ini, modernisasi terus dikerjakan TNI AL. Sejak 2000-2020 telah banyak didatangkan kapal perang terbaru, canggih seperti 4 korvet sigma dari Belanda (2006-2009-. Lalu pada 2013, datang 3 unit kapal frigat ringan eks AL Brunei yang tidak jadi digunakan type E- 2000. Pada 2016-2017, 2 unit KRI Raden Edhi Martadinata-331 dan I Gusti Ngurah Rai-332, dari jenis light frigat buatan PT PAL Indonesia bersama Damen Shelde Naval Shipbuilding ( DSNS ) Belanda, serta 3 unit Kapal selam buatan bersama Korea-Indonesia juga menambah alutsista armada perang TNI AL.
Serta belum lagi kapal-kapal pendukung seperti kapal patroli, kapal LPD, LST, kapal bantu lainnya yang bisa dibangun digalangan kapal dalam negeri melalui alih tehnologi dengan negara lain. Dari pencapaian diatas, sayangnya disain dan konsep pertahanan laut TNI AL, belum mengacu progesif kepada pertahanan laut yang termaksud di dalam program MEF ( Minimum Essential Force ), yang telah dibuat sejak dimulai pada periode 2004 dan sudah masuk pada Renstra ke 2, menuju tahap ke 3 di 2022.
Menjaga perairan NKRI perlu alutsista modern |
Foto: Istimewa