Bencana dahsyat seperti pandemi Covid-19 sebetulnya berpotensi melahirkan karya-karya sastra besar. Namun, jika sastrawan tergoda untuk menelannya bu
Tetap semangat berkarya meski dunia dilanda pandemic Covid-19 |
Ini diutarakan penyair dan kritikus sastra Agus R. Sarjono, narasumber dalam Webinar di Jakarta (27/1). diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA, bertema “Pandemi Timbul, Pandemi Tenggelam”. Diskusi juga diiringi acara baca puisi oleh sejumlah penulis, seperti Fachrunnas M.A. Jabbar (penyair), Riri Fitri Sari (Poetry Reading Society), Haqi Fadillah (dosen dan penulis), Beni Satria (Lab Teater Ciputat), Anto Narasoma (penyair), dan Rika Rostika Johara (aktor teater).
Menurut Agus Sarjono, bencana, geger, disrupsi dan katastropi sosial-politik adalah semangkuk besar bubur panas sejarah. Banyak sastrawan tak sadar dan tergoda untuk menelannya bulat-bulat.
“Maka alih-alih menelan semangkuk bulat-bulat, sesendok pun sudah dimuntahkan atau tersembur ke luar. Yang didapat pembaca akhirnya hanyalah muntahan atau semburan demikian,” ujar Agus.
Agus R. Sarjono |
“Namun, bagaimana dengan pembaca di tempat yang jauh, apalagi di zaman berbeda? Sebuah karya sastra tentang bencana, yang tidak setara dengan bencana yang disastrakannya, dapat berakibat tidak kecil. Itu bisa dianggap menyembunyikan atau menutupi kedahsyatan bencana tersebut,” ungkapnya (dh).
Foto: Istimewa