Dalam Pertemuan global terbesar bagi penanganan perubahan iklim, COP26 UNFCCC (Pertemuan Negara-Negara Pihak pada Konvensi PBB mengenai Perubahan Ikli
Masyarakat harus memahami adanya perubahan iklim |
Dokumen ini menjadi petunjuk pelaksanaan implementasi Perjanjian Paris dalam berbagai lini, termasuk dalam Pengelolaan Hutan Lestari. Dari perspektif perubahan iklim, Indonesia dengan luas wilayah dan letaknya yang strategis, termasuk potensi kawasan hutannya, dinilai sangat penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.
Dengan kekayaan sumber daya alam berupa hutan, laut, mineral, energi, gambut dan sebagainya, potensi serapan dan simpanan karbon Indonesia sangat luar biasa. “Sehingga harapannya dengan pengelolaan hutan lestari, kita dapat berkontribusi, termasuk penyelesaian solusi perubahan iklim global khususnya dalam mengejar target Paris Agreement,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PHL-KLHK) Agus Justianto saat Webinar Indonesia Climate Change Virtual Expo (ICCVE) Seri IV, digelar secara virtual di Jakarta (28/12).
Agus menyampaikan pihaknya telah menyusun strategi implementasi pengelolaan hutan lestari dalam mencapai ketahanan perubahan iklim. Ditjen PHL turut berkontribusi pada kegiatan aksi pencapaian target NDC melalui penerapan praktik pengelolaan hutan lestari pada Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), khususnya teknik SILIN dan Reduced Impact Logging-Carbon (RIL-C).
PBPH mengajak para pihak termasuk investor dan masyarakat diberikan kesempatan untuk bisa mengikuti skema perizinan multiusaha. “Melalui multiusaha kehutanan, diharapkan dapat mendukung efisiensi pemanfaatan hutan dan memberikan kontribusi positif terhadap target NDC,” papar Agus.
Potensi kekayaan alam Indonesia menjadi instrument penting mitigasi perubahan iklim |
"Fenomena-fenomena ini harus kita persiapkan dan menjadi perhatian di masa depan. Dinamika yang beragam ini juga menciptakan situasi VUCA (volatile, uncertain, complex and ambiguous/bergejolak, tidak pasti, kompleks, dan ambigu)," terangnya.
Sarwono mengungkapkan dalam upaya mencari solusi pengendalian perubahan iklim, seringkali dihadapkan pada pilihan dan kemungkinan yang tak terbatas. Oleh karena itu, kita harus menciptakan kemungkinan dan solusi baru, yang merupakan bagian dari adaptasi, yang dapat diterapkan dalam satuan sosial yang compact atau kecil. Selain itu, bagaimana kita fokus agar mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk bertahan hidup yaitu makanan (food) dalam arti luas, energi (energy) dan air (water).
"Mari kita menyesuaikan diri, untuk tidak menyerah terhadap keruwetan zaman sekarang. Kita bangkitkan kiat-kiat untuk keluar dari suasana VUCA ini, dengan adaptasi fase (normal) baru di tingkat akar rumput," ajak Sarwono (ma).
Foto: istimewa