Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, di Jakarta (17/10), kembali menggelar acara diskusi rutin secara daring tiap minggunya, bertajuk “Empu Punya K
D. Kemalawati, dari Aceh |
Webinat menjadi menarik, diikuti sekitar 125 orang. Mayoritas peserta adalah kaum perempuan. Ada dosen penyair, Nenden Lilis Aisyah, yang mendatangkan sejumlah mahasiswanya untuk berpartisipasi.
Pembacaan puisi oleh 10 penyair perempuan dari berbagai provinsi, mulai dari Aceh hingga Papua Barat, berlangsung sangat meriah dan unik. Disebut meriah, karena para penyair perempuan itu tampil penuh semangat. Disebut unik, karena tiap penyair mengangkat khasanah budaya daerahnya masing-masing.
Pembaca puisi yang tampil pertama adalah D. Kemalawati dari Aceh. Kemalawati membacakan puisinya secara ekspresif. Puisi itu mengangkat kepahlawanan tokoh emansipasi perempuan Raden Ajeng Kartini, dan pejuang Aceh yang gigih melawan penjajah Belanda, Cut Nyak Dhien.
Lalu ada Natalia Dessy (Papua Barat), Shantined (Kaltim), Kunni Masrohanti (Riau), Anil Hukma (Sulsel), Kadek Sonia Piscayanti (Bali), Fatin Hamama (Sumbar), Ritawati Jassin (Gorontalo), Nenden Lilis Aisyah (Jawa Barat), dan Dhenok Kristianti (DI Yogyakarta).
Dhenok Kristianti dari Derah Istimewa Yogyakarta |
Meskipun terdengar mudah, ternyata penggunaan bahasa daerah untuk puisi tidaklah mudah. Upaya “menerjemahkan” puisi berbahasa Indonesia menjadi puisi berbahasa daerah, membutuhkan keterampilan berbahasa sendiri. Ini karena bahasa sastra tidak seperti bahasa percakapan biasa (dh).