Terpaan realitas palsu yang bertubi-tubi dalam revolusi digital membuat masyarakat sulit membedakan, mana yang realitas dan mana pula yang fiksi. Kec
Era serba digital tak serta merta memudahkan manusia untuk memilah berita |
Hal itu diungkapkan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA di Jakarta (26/9), menanggapi presentasi para narasumber di Obrolan HATI PENA #6, bertajuk “Disrupsi Membunuh Siapa?” yang diselenggarakan SATUPENA secara daring dan dihadiri lebih dari 70 peserta dari berbagai latar belakang profesi.
Dua narasumber di webinar itu adalah Prof. Dr. Franky Budi Hardiman, dosen filsafat dan penulis buku “Aku Klik Maka Aku Ada,” dan Ajisatria Suleiman, praktisi kebijakan digital dan penulis buku “Jaring Pengaman Digital.” Webinar itu dipandu oleh Amelia Fitriani dan Anick HT.
Denny memberi contoh aplikasi teknologi terbaru, yang bisa memalsuksan tayangan video sebegitu persis, sehingga sulit dibedakan dari aslinya. Pada 2019, ada video Presiden AS Barack Obama yang ditiru sebegitu persisnya, sampai ke wajah, suara, bahkan gerak-gerak bibirnya.
Dalam video palsu hasil rekayasa itu, Obama dikutip mengatakan hal-hal yang kontroversial. Obama di video itu mengatakan bahwa Donald Trump adalah presiden yang tololnya sempurna. Dan bahwa pembunuhan yang dilakukan kelompok kulit hitam Black Panther bisa dibenarkan.
Mengutip hasil penelitian di AS, tambah Denny, berita palsu itu sudah menjadi mayoritas. Di AS, yang mungkin juga terjadi di Indonesia, 67 persen dari populasi pernah melihat berita palsu. Jadi berita palsu sudah menggapai lebih dari separuh populasi.Denny JA, Ketum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA
Sejumlah 83 persen populasi di AS mengakui bahwa berita-berita palsu ini mempengaruhi kesadarannya. Bahkan, mempengaruhi pilihan politik negaranya. Terlihat, begitu besarnya pengaruh berita palsu (lw).
Foto: istimewa