Satwa endemik berupa Burung Pelanduk Kalimantan (Malacocincla perspicillata) yang diduga mengalami kepunahan sejak tahun 1848 atau 172 tahun yang lalu
Burung Pelanduk yang mengundang perhatian banyak pengamat satwa dunia, ada di Indonesia |
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KSDSE-KLHK), Wiratno saat Media Briefing melalui telekonferensi (Selasa, 2/3/2021) menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada para citizen science, yaitu masyarakat yang bukan peneliti namun sukarela mengumpulkan dan menganalisa data ilmiah.
Wiratno menyebutkan, satwa liar akan sejahtera sepenuhnya apabila hidup di alam habitatnya. Hal ini juga menegaskan, pihaknya sangat memerangi perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Indra Eksploitasia pun mendukung pernyataan Wiratno, menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat di lapangan yang menemukan Burung Pelanduk Kalimantan dan telah memasukkannya ke jurnal ilmiah dan mengharumkan nama Bangsa Indonesia.
Indra melanjutkan, sesuai arah kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, menerangkan apabila ingin memasukkan spesies ini ke dalam spesies yang ingin dilindungi adalah jika telah memenuhi kriteria. Antara lain mempunyai populasi yang kecil, dan ada penurunan dalam jumlah yang tajam pada jumlah individu di alam, serta memiliki daerah penyebaran yang terbatas.
Seperti diketahui, Burung Pelanduk Kalimantan tersebar di daerah hutan tropis dataran rendah daerah wilayah Kalimantan. Terhadap jenis tumbuhan dan satwa ini yang memenuhi kriteria wajib melakukan upaya pengawetan, utamanya melakukan kebijakan konservasi dalam hal "full protection" atau dilindungi.
"Masih banyak hal yang dapat kita temukan dan kita gali informasinya terkait dengan Burung Pelanduk Kalimantan. Beberapa informasi dapat kita jadikan dasar rujukan dengan bantuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memberikan rekomendasi sebagai scientific authority kepada management authority untuk memasukkan burung Pelanduk Kalimantan sebagai spesies yang dilindungi," terang Indra.
Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional (TN) Sebangau, Teguh Willy Nugroho menambahkan, Burung Pelanduk Kalimantan yang ditemukan sesuai digambarkan oleh ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada tahun 1850, berdasarkan spesimen yang dikumpulkan tahun 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan.
Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan. Selain itu, asal muasal spesimen juga masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas.
Asumsi awal spesimen tersebut diambil di Pulau Jawa, Di tahun 1895, ahli ornitologi Swiss Johann Büttikofer menunjukkan, waktu itu Schwaner berada di Pulau Kalimantan. Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen ini.
Burung penyanyi yang tergolong dalam keluarga Pellorneidae ini sebelumnya diklasifikasikan Rentan oleh IUCN. Pada tahun 2008, status burung ini berubah menjadi “Kurang Data” berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya. Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018, burung ini belum masuk ke dalam satwa yang dilindungi.
Awal mula burung ini ditemukan merupakan ketidaksengajaan oleh dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan. Salah satu dari mereka merupakan anggota dari sebuah grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk beluk burung. Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait temuan tersebut.
"Terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini, diantaranya pada warna iris mata, paruh dan warna kaki. Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh, salah satu penulis makalah mengenai burung ini.
Teguh memaparkan, temuan ini juga membuktikan keanekaragaman hayati Indonesia sangat kaya, terutama di bagian terdalam hutannya. Menurutnya, saata kondisi pandemi seperti saat ini, sangat penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data. “Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ungkap Teguh.
Sementara itu, Peneliti Muda pada pusat Penelitian Bologi LIPI, Tri Haryoko menyebutkan, hal yang perlu ditindaklanjuti adalah peranan citizen science, yaitu masyarakat luas ikut terlibat dalam pengumpulan, pengarsip, analisis, dan berbagi data keanekaragaman hayati untuk pengembangan ilmu pengetahuan (ma).