Jakarta (IndonesiaMandiri) - "Ini agar betul-betul nanti bisa terealisasi, sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan Reforma Agraria bisa mengala
Menteri LHK Siti Nurbaya (kiri), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (tengah) dan Menteri ATR/BPN Sofyan Jalil usai rapat dengan Presiden |
Presiden tegaskan kembali semangat serta komitmen yang kuat Pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan konflik tenurial di kawasan hutan, yang merupakan persoalan akumulatif. Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam rapat yang langsung dipimpin Presiden. Pertemuan tersebut juga dilakukan untuk mengetahui berbagai persoalan di lapangan, serta menemukan solusi yang dapat disepakati bersama.
Pemerintah berupaya mempercepat Reforma Agraria agar segera dapat dirasakan manfaat dan dampaknya oleh masyarakat. Berbagai instrumen kebijakan pun telah dikeluarkan, seperti Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH), program Perhutanan Sosial, dan kebijakan Penataan Pemukiman dalam kawasan hutan.
Para pegiat yang hadir yaitu Ketua Umum DPP Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Siti Fikriyah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, Ketua Badan Registrasi Wilayah Adat Kasmita Widodo, dan Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia Agus Ruli. Turut mendampingi Presiden, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK Siti Nurbaya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Kapolri Jenderal Idham Azis.
Usai pertemuan, Menteri LHK Siti Nurbaya mengungkapkan, pertemuan ini penting agar tercapai kesesuaian antara data dan kebijakan Pemerintah, dengan kondisi di lapangan seperti yang disampaikan para pegiat Reforma Agraria pada pertemuan tersebut.
“Dalam UU 11/2020 sudah dimasukkan tentang penyelesaian masalah pemukiman. Ditegaskan bahwa untuk keterlanjuran masyarakat maka akan ditata dan menerapkan prinsip tata kelola kehutanan, dengan pendekatan (dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung dengan pola kemitraan dalam zona tradisional) dan dalam kawasan hutan produksi dapat dikeluarkan dari kawasan. UU ini juga mempertegas bahwa tidak boleh ada lagi kriminalisasi kepada masyarakat,” terang Siti.
Soal Perhutanan sosial, lanjut Siti, juga untuk pertama kalinya diatur dalam UU. Di dalam RPP nantinya akan diatur bahwa hutan adat telah harus didelineasi awal (sebelum ditetapkan sebagai hutan adat), sehingga tidak terkena peruntukan lain, sambil menunggu penetapan legal aspek Masyarakat Hukum Adat (MHA).
“Ini merupakan langkah maju setelah tanggal 30 Desember 2016, hutan adat secara resmi diakui negara dalam bentuk Surat Keputusan (SK) yang diserahkan Presiden. Inilah catatan sejarah untuk pertama kalinya diserahkan SK tentang Hutan Adat,” sambungnya.
Sementara itu, tentang TORA dari kawasan hutan, dari target 4,1 juta Ha dari hutan, telah dicadangkan sekitar 4,9 juta Ha. Sampai dengan saat ini, telah diselesaikan SK Penyelesaian dari kawasan hutan melalui proses inver PPTKH seluas 1,282.535 Ha (yang sudah dihuni, ada pengakuan, dll termasuk transmigrasi seluas 264.578 Ha); serta yang murni dari kawasan hutan yang dapat dikonversi yaitu seluas 948.804 Ha.
“Inilah wujud komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi, yang terus berupaya memberi kerja nyata agar berbagai program pemerintah dapat berjalan baik dan dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat,” ungkap Siti (ma).