Jakarta (IndonesiaMandiri) – Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) nomor 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembang
Penggunaan kawasan hutan di Food Estate telah melalui kajian yang tepat |
Jakarta (IndonesiaMandiri) – Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) nomor 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, merupakan kebijakan yang memberi pedoman sebagai program strategis nasional dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional.
Ini dilakukan mendesak, diantaranya dalam menjaga ketahanan nasional bidang pangan, sebagaimana juga tiap-tiap negara memperkuat dirinya dalam menjaga ketersediaan pangan, sehingga tidak bergantung pada negara lain. Ini menjadi sangat relevan terkait tantangan pandemi Covid-19.
Sehingga, Pemerintah perlu mempersiapkan, terkait kebutuhan nasional penyediaan kawasan hutan bagi pembangunan Food Estate. Untuk kebutuhan lahan dari kawasan hutan, maka ditempuh dengan mekanisme sesuai peraturan perundangan seperti Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP, Pasal 2).
Pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate dengan mekanisme Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan KHKP sesuai Pasal 3 ayat 2, jelas hanya dapat diajukan permohonannya oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur, Bupati/Wali Kota atau Kepala Badan Otorita yang ditugaskan khusus oleh Pemerintah. Tidak dimaksudkan untuk swasta.
KLHK melalui Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto, menjelaskan (16/11), Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk pembangunan Food Estate dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK, Pasal 6 Ayat 1), dengan syarat harus melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menyelesaikan UKL UPL (Upaya Kelola Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) guna melindungi lingkungan.
Ditegaskannya, ini tak dapat dilakukan sebelum menyelesaikan Komitmen UKL-UPL. Selain itu, juga perlu mengamankan Kawasan HPK yang dilepaskan. Dalam hal untuk kepentingan reforma agraria, selanjutnya areal yang telah siap untuk areal tanaman pangan dapat dilakukan redistribusi tanah kepada masyarakat sesuai dengan ketentuaan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu KHKP merupakan kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan untuk kepentingan ketahanan pangan. Penetapan KHKP dapat dilakukan pada kawasan Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi. Areal KHKP tidak akan dilepaskan atau tetap menjadi kawasan hutan. Dan Hutan Lindung (HL) yang dipakai Food Estate adalah kawasan HL yang sudah tak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan.
Kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung tersebut, dengan kegiatan Food Estate juga sekaligus merupakan kegiatan pemulihan (rehabilitasi) kawasan hutan lindung dengan pola kombinasi tanaman hutan (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan yang dikenal sebagai tanam wana tani (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak yang dikenal sebagai wana ternak (sylvopasture), dan kombinasi tanaman hutan dengan perikanan yang dikenal sebagai wana mina (sylvofishery). Tanaman hutan pada kombinasi-kombinasi tersebut di atas akan memperbaiki fungsi hutan lindung.
Sebagai contoh di Jawa Barat, ada kawasan hutan lindung sudah menjadi areal kebun sayur. Jawa Tengah, seperti di Dieng, hutan lindungnya menjadi areal kebun kentang, padahal membahayakan fungsi pengatur tata air, pengendali erosi dan penjaga kesuburan tanah dari kawasan hutan lindung tersebut.
Dalam perspektif pembangunan daerah, sebenarnya Pembangunan Food Estate semestinya dilihat sebagai wilayah perencanaan untuk land use (tata guna lahan). Karena secara teknis dikenal compound land utilization type (pengelolaan secara multiguna) dalam suatu wilayah, sehingga bukan hanya monokultur, namun juga polikultur. Karena Food Estate dilakukan secara terintegrasi yang mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perternakan dan perikanan termasuk kawasan lindung dalam bentuk mozaik.
“Didalam model pengembangan Food Estate selain untuk lahan pertanian berkelanjutan secara modern dan dengan intervensi teknologi tinggi (benih, pemupukan, tata air, sistem mekanisasi, pemasaran dan lain lain), juga mencakup pola kerja hutan sosial,” ungkap Sigit (ma).