Jakarta (IndonesiaMandiri) – Belakangan ini kawasan pariwisata Labuan Bajo, di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur/NTT, banyak men
Muljadi Pinneng Sulungbudi |
Jakarta (IndonesiaMandiri) – Belakangan ini kawasan pariwisata Labuan Bajo, di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur/NTT, banyak menjadi perhatian. Bukan saja karena di dalamnya ada Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai bagian aset/warisan dunia yang sudah diakui Unesco, tapi juga Pemerintah kita telah menetapkannya sebagai kawasan wisata super prioritas atau premium, bersama empat daerah lainnya, yaitu Danau Toba (Sumatera Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Borobudur (Jawa Tengah) dan Likupang (Sulawesi Utara).
Namun demikian, kritikan juga banyak diarahkan ke TNK, karena berbagai pembangunan, baik yang sudah dan sedang berlangsung di sekitarnya justru dinilai mengurangi nilai pariwisata premium atau super prioritas. Pesona alam Labuan Bajo – juga TNK – sudah tak diragukan lagi, baik budaya, kearifan lokal, wisata di darat maupun bawah lautnya.
Guna mencermatinya, Indonesiamandiri berkesempatan dialog dengan pegiat sekaligus pelatih olahraga selam, Muljadi Pinneng Sulungbudi, yang mukim di NTT, tepatnya Kupang. Pinneng sering mengunjungi berbagai destinasi wisata di dalam dan luar negeri, termasuk wisata premium. Berikut petikan wawancaranya:
IM (Indonesiamandiri/IM). Pembangunan di Labuan Bajo dimana di dalamnya ada TNK terus digenjot. Bagaimana anda menilainya, sesuai dengan kaedah kawasan konservasi?
PN (Pinneng). Beberapa saat terakhir ini banyak pihak membicarakan hal tersebut. Terutama netizen yang muncul dengan berbagai pendapatnya. Pertama yang saya tanya adalah: sudahkah Anda pernah ke TNK? Kalau belum, sebaiknya janganlah berpendapat dulu. Mana bisa kita membela dan sayang ke sesuatu yang kita tidak kenal?
Kalau sudah pernah, sudahkah Anda dapatkan informasi lengkap tentang apa rencana di sana? Terus terang, saya sampai saat ini belum dapatkan berita yang pasti. Semua masih sebatas “katanya”. Yang saya tahu adalah memang dalam suatu kawasan Taman Nasional diperbolehkan dibangun fasilitas dengan berbagai syarat. Jadi belum tentu pembangunan itu salah. Bukankah memang sudah bertahun-tahun ini di sana sudah ada bangunan? Sayangnya perawatannya sangat buruk.
Di sisi lain, berulang kali saya mendengar ranger (pemandu wisata) yang diserang satwa komodo di ruang kantornya. Tentunya itu tidak terlepas dari keterbatasan fasilitas yang ada sekarang ini. Pernahkah kita perhatikan pantai di sana? Penuh dengan sampah plastik. Dari mana? Ya tentunya dari manusia.
Marilah kita tidak terburu-buru menyalahkan satu pihak apalagi ketika kita sendiri belum bisa membuktikan kesayangan kita pada TNK dan Komodo-nya. Yang saya sayangkan juga, hingga saat ini tampaknya komunikasi dari pemerintah ke masyarakat lokal mungkin kurang. Ini yang membuat persepsi berkembang liar.
Kredibilitas pengelola TNK juga masih perlu dibuktikan, ini akan sangat berpengaruh pada keseganan masyarakat terhadap rencana pengembangan TNK. Beberapa bulan lalu saya mendapatkan informasi manta, terkait mata pancing. Saya sendiri menyaksikan banyak nelayan yang ramai “berburu” di kawasan TNK pada saat isolasi pandemi. Terlepas dari nelayan yang perlu mencari makan, tapi tanpa pengawasan maka bisa terjadi cara berburu yang salah.
Saat ini juga marak berkembang tenda-tenda penjaja cindera mata, dengan anak-anak yang menawarkan barang dagangannya sampai ke pendaratan perahu. Di sini saya merasakan ketidak-konsistenan pemerintah yang ingin memberi predikat wisata “premium”. Semakin pemerintah setengah-setengah dalam bekerja, semakin susah untuk meyakinkan masyarakat bahwa niatan pembangunan di TNK ini adalah untuk kepentingan luas.
Di berbagai tempat di Indonesia, kita pandai membangun beton, tapi paling buruk untuk merawatnya.
IM. Anda sebagai pegiat selam, bagaimana menilai potensi wisata diving di TNK dan apa yang sebaiknya dibenahi?
PN. Sebelum pandemi, industri wisata air di TNK berkembang sangat pesat bahkan di luar kendali. Banyak operator kedapatan tidak memahami bagaimana menjalankan wisata alam yang baik. Potensi dunia yang kita miliki ini menjadi “murahan” ketika manusia pelakunya tidak mengerti kekayaannya sendiri. Ini termasuk pemerintahnya.
Berbagai kejadian heboh di masa lalu (terbakarnya pulau, penunggangan penyu, habisnya pasir Pink Beach, dan lain-lain), tidak terdengar ada tindakan tegas dari pihak berwenang. Saya paham untuk pengelolaan TNK ini memerlukan biaya yang sangat tinggi. Di satu sisi saya sangat setuju dengan “wisata premium”, tapi jangan disalah-artikan.
Berbagai tempat wisata premium yang pernah saya kunjungi menggunakan fasilitas yang sangat ramah alam (bahkan tidak nyaman kalau mengikuti standard wisata kita). Tapi peraturannya ketat sekali. Wisata premium itu PENGALAMANNYA, bukan bangunannya.
TNK jelas harus “dijual” dengan konsep eco-tourism, karena itulah kekayaan yang tidak ada tandingannya, Kalau dirusak dengan “beton”, yang ada hanyalah akan ditertawakan orang-orang. Per”kaya”lah pengetahuan pengelolanya, termasuk operator di sana. Sehingga tamu yang masuk ke wilayah TNK merasakan “elite”-nya berwisata di TN Komodo.
Berbagai prestasi sudah diraih Pinneng dalam kegiatan bawah air |
IM. Di masa pandemi, tren wisata bergeser dari quantity ke quality tourism. Termasuk di TNK serta Labuan Bajo. Bagaimana menurut anda?
PN. Saya bukan penganut “kuantitas”. Karena kalau kita bicara kuantitas maka biasanya akan bertentangan dengan keberlangsungan alam. Kita bicara “carrying capacity”. Ini yang harusnya (dulu) dibenahi pengelola. Terbukti sebelum pandemi ini, tidak (dapat/mau) dikendalikan. Pandemi membawa musibah bagi kita semua, banyak yang menderita. Tapi dari sisi alam, hal ini lebih baik.
Di berbagai wilayah di Indonesia, penguasa selalu berpikir asas pemerataan ke masyarakat luas. Menurut saya kalau mau melibatkan masyarakat sebanyak mungkin, maka perpanjanglah rantai pasokan, bukan membiarkan semua masyarakat berebut berbisnis yang sama dan akhirnya terjadi persaingan yang tidak sehat.
Contohnya, kalau satu tempat cocok untuk dibukakan warung, maka di situ akan tumbuh belasan bahkan puluhan warung lain. Lebih baik Pemerintah mengambil peran lalu membina warung yang sudah ada untuk membagi-bagi bisnisnya. Misalnya ada yang membuka warung (masak), yang lain memasok bahan dari pasar, kelapa dari atas pohon, mengelola kebersihan, dan berbagai hal lain. Pada akhirnya keuntungannya akan merata dan menjadi produktif.
IM. Labuan Bajo menjadi barometer/pintu gerbang wisata di NTT. Apa yang mesti dibenahi menurut anda?
PN. Jangan terulang orang mengenal “Bali” tapi tidak tahu “Indonesia”. Kita beruntung ada TNK, maka itu menularkan keuntungan bagi Labuan Bajo. Sebaiknya pemerintah memanfaatkan hal ini untuk menularkan juga ke wilayah lain di NTT. Saat ini sudah mulai terjadi orang “mampir” ke Wae Rebo. Nah, segeralah lebarkan penularan ini dengan membuat paket-paket wisata ke daerah lain. Dari pengalaman saya ke berbagai provinsi di Indonesia, NTT memiliki potensi wisata paling lengkap. Sayang kalau tidak dikelola dengan baik (ma).