Jakarta (IndonesiaMandiri) – Untuk pertama kalinya perhutanan sosial secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang (UU). UU Cipta Kerja merupakan wujud
Perhutanan sosial berdayakan masyarakat yang tinggi di dalam dan sekitar hutan lebih sejahtera |
Jakarta (IndonesiaMandiri) – Untuk pertama kalinya perhutanan sosial secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang (UU). UU Cipta Kerja merupakan wujud nyata penciptaan lapangan kerja bagi seluruh masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan dan di sekitarnya, serta bagaimana keadilan harus terus di dorong dalam sebuah undang-undang yang nyata.
Dalam acara Bincang Undang-Undang: Atasi Kesenjangan Multi Tafsir bertema Hutan Sosial Untuk Lapangan Kerja dan Keadilan, diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK (12/10), Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menggarisbwahi, dengan perhutanan sosial di UU Cipta Kerja merupakan wujud nyata keadilan kepada masyarakat dan menciptakan lapangan kerja.
“Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, menjaga keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Perhutanan sosial juga menjadi salah satu alternatif penyelesaian berbagai permasalahan kehutanan yang akut dan menahun. Melalui UU Cipta Kerja masyarakat di sekitar hutan dapat bekerja dengan perlindungan hukum yang jelas,” ucap Bambang Hendroyono.
Wakil Ketua DPR RI Komisi IV, Dedi Mulyadi menjelaskan, secara kultural, perhutanan sosial sudah terbentuk ketika kolonial Inggris dan Belanda. Tujuan utamanya yaitu melindungi areal hutan yang tidak boleh dijamah oleh masyarakat, harus terjaga kelestariannya, tetapi ekonomi masyarakat harus tetap hidup. Kini, pemerintah memiliki otorisasi penuh menentukan arah pengelolaan sumber daya kehutanan. Dedi berharap para pengelola di bidang kehutanan dapat meletakkan hutan tidak hanya sebagai sumber ekonomi publik tetapi juga sebagai sumber spiritualitas publik.
“Dalam proses pengembangan hutan sebagai peningkatan ekonomi, perlu diterapkan prinsip-prinsip kepada masyarakat bahwa ekonomi bukan kayunya, ekonomi bukan rantingnya, tetapi ekonomi adalah pelestariannya,” tambah Dedi.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto, menambahakan, program perhutanan sosial tidak hanya untuk distribusi akses tetapi juga didampingi dengan kebijakan pemerataan ekonomi melalui program pendampingan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan dukungan akses, modal serta pasar.
“Data capaian kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) sejak 2016 hingga 2020 yang terus mengalami peningkatan. Jumlah KUPS hingga Juni tahun 2020 tercatat 7.311 KUPS dan terdapat lebih dari dua juta tenaga kerja sektor Perhutanan Sosial,” terang Bambang Supriyanto. Sebagai contoh nyata, program perhutanan sosial selama ini sangat berdampak baik pada masyarakat adalah produk petani hutan, madu, minyak kayu putih, jahe merah, sebagai produk petani hutan yang laris saat pandemi Covid-19.
Sedangkan menurut Prof. San Afri Awang, masuknya Perhutanan Sosial dalam UU Cipta Kerja, menunjukkan negara hadir untuk masyarakat. Oleh karenanya perhutanan sosial harus diletakkan sebagai sentral, karena memuat tiga hal yaitu ekologi, ekonomi dan kesejahteraan.
“Perhutanan sosial menjadi strategis dan penting. Untuk itu perlu diperkuat dalam Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja. Peraturan Pemerintah terkait perhutanan sosial harus mampu mengatur dengan tata kelola yang baik semua bentuk perhutanan sosial yang digagas KLHK dan yang digagas masyarakat seperti yang dinyatakan dalam definisi perhutanan sosial”, urai Prof. San Afri (ma).