|
Banyak perusahaan yang belum melaporkan situasi tempat kerjanya saat karyawan terkena PAK |
Depok (
IndonesiaMandiri) –
Sebagian besar masyarakat yang bekerja di perusahaan, apapun jenis pekerjaannya, memiliki risiko terhadap masalah kesehatan. Risiko itu timbul akibat proses kerja, lingkungan dan perilaku kesehatan pekerja. Pekerja tidak hanya berisiko menderita penyakit yang ada di masyarakat pada umumnya, tetapi juga beresiko mengalami penyakit akibat kerja. Sayangnya, belum semua pekerja sadar tentang Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Definisi PAK berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan/PMK No.56/2016, adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja termasuk penyakit terkait kerja. Penyakit terkait kerja adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan dan atau lingkungan kerja memegang peranan bersama dengan risiko lainnya. Dalam beberapa kasus PAK, ada satu hal yang sering dipertentangkan yaitu apakah penyakit yang diderita diperoleh akibat pekerjaan atau di luar lingkungan kerja. Kontroversi ini seringkali merugikan tenaga pekerja, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas kerja dan dapat berdampak pada perusahaan.
Hal ini yang kemudian didiskusikan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) sebagai Pusat Layanan Kecelakaan Kerja (PLKK) BPJAMSOSTEK dan Rujukan layanan PAK BPJAMSOSTEK, berkolaborasi dengan BPJAMSOSTEK beberapa hari lalu secara virtual dan diikuti 290 peserta dari berbagai perusahaan.
RSUI sebagai salah satu instansi kesehatan memiliki layanan di bidang okupasi, secara umum terbagi lima jenis, yaitu melakukan pemantauan kesehatan pekerja atau health surveillance, melakukan diagnosis PAK, melakukan penentuan derajat kecacatan pasca kecelakaan kerja atau akibat PAK, melakukan penilaian kelaikan kerja, dan melakukan program kembali kerja (Return to Work).
Pembicara dalam diskusi PAK, dr. Dewi Yunia, Sp.OK, Dokter Spesialis Okupasi RSUI, menjelaskan banyak tenaga kerja yang belum menyadari pekerjaan atau lingkungan di tempat kerjanya dapat menyebabkan PAK karena beberapa faktor. “Di negara berkembang, para pekerja tidak menyadari PAK karena faktor angka pengangguran di negera tersebut sangat tinggi sehingga mereka tidak memedulikan jenis pekerjaan yang diambil karena ada kebutuhan, faktor kedua karena level pendidikan yang rendah sehingga menyebabkan mereka tidak mengetahui potensi bahaya dari pekerjaan yang dilakukan serta kurangnya pelatihan atau edukasi dari tempat bekerja.” ujar Dewi.
Ada lima macam potensi bahaya, yaitu faktor fisika (seperti suara bising, getaran, dan radiasi), faktor kimia (hal-hal yang terpapar dengan bahan kimia, seperti apoteker, pabrik bahan kimia), faktor biologis (disebabkan oleh virus, bakteri, jamur), faktor ergonomi (akibat dari cara kerja, posisi kerja, alat kerja), dan faktor psikososial (beban kerja tinggi, tuntutan kualitas pekerjaan yang tinggi).
PAK secara umum mempunyai beberapa kriteria, yaitu memiliki hubungan spesifik antar pajanan di tempat kerja dan penyakit, insiden penyakit di kalangan komunitas kerja lebih dari masyarakat pada umumnya dan penyakit tersebut dapat dicegah dengan pencegahan di tempat kerja. Dengan kriteria ini, kita bisa melihat apakah penyakit yang diderita diperoleh dari pekerjaannya atau dari luar lingkungannya. Namun kriteria ini saja tidak cukup, perlu dilakukan diagnosa terhadap PAK itu sendiri.
Menurut Dewi, ada 7 langkah pendekatan yang dapat kita gunakan untuk melakukan diagnosis PAK, yaitu langkah pertama melakukan diagnosis klinis, kedua menentukan pajanan di lingkungan kerja, ketiga menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis. Keempat menentukan besarnya pajanan, kelima menentukan faktor peranan individu, keenam menentukan faktor lain diluar pekerjaan, dan tujuh menentukan diagnosis PAK.
Di Indonesia, kasus PAK seperti fenomena gunung es. Menurut data Kemenkes, dari 114,6 juta pekerja yang terkena kasus PAK hanya sebanyak 40,694 orang. Jumlah kasus ini masih terbatas sehingga belum menggambarkan masalah PAK di Indonesia. Namun kecilnya jumlah kasus PAK sebenarnya bukan karena tidak ada, tetapi beberapa perusahaan merasa takut untuk melaporkan pekerjanya yang terdiagnosis PAK.
“Kebanyakan perusaahaan menganggap jika pekerja terdiagnosis PAK, itu adalah suatu masalah tabu bagi mereka sehingga mereka banyak yang tidak melaporkan pekerja yang terkena PAK, karena takut dianggap perusahaanya belum melakukan upaya kesehatan kerja yang adekuat. Padahal jika kita mengetahui PAK di suatu tempat kerja kita bisa mengevalusi dan memperbaiki sistem kesehatan kerja secara komprehensif yang sesuai dengan tempat kerja tersebut. Jangan menganggap diagnosis PAK itu sesuatu yang buruk, justru sangat penting karena kita dapat mengetahui masalahnya dan dapat merancang supaya program kesehatan pekerja bisa lebih baik lagi” terang Dewi.
Sementara itu, terkait dengan jaminan kecelakaan akibat kerja, sesuai regulasi dan ketentuan BPJAMSOSTEK melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), kata Indra Iswanto, Kepala Kantor Cabang BPJAMSOSTEK Depok, pekerja yang mengalami baik kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja akan mendapatkan pelayanan kesehatan (perawatan dan pengobatan), antara lain penanganan, termasuk komorbiditas dan komplikasi yang berhubungan dengan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
“Pelayanan kesehatan yang diberikan tersebut diberikan tanpa batasan plafon sepanjang sesuai kebutuhan medis (medical need) dan ketentuan yang berlaku” tambah Indra. Pekerja yang tidak mampu bekerja untuk sementara waktu, melalui manfaat jaminan kecelakaan kerja (JKK) juga akan diberikan santunan tunai sebagai pengganti gaji mereka.
“Manfaat JKK lainnya, pekerja yang sementara tidak mampu bekerja akan kami berikan santunan sesuai dengan gaji pokok mereka. 6 bulan pertama 100% upah, 6 bulan berikutnya tetap 100% seterusnya 50% dari upah. Selain itu, pekerja yang sampai meninggal dunia juga akan mendapatkan santunan kematian” urai Indra.
Manfaat jaminan tersebut sejalan dengan amanah Peraturan Pemerintah Nomor. 82 tahun 2019 tentang Perubahan atas PP Nomor.44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
RSUI sebagai Pusat Layanan Kecelakaan Kerja BPJS Ketenagakerjaan memiliki fasilitas lengkap untuk diagnostik, terapi, dan perawatan termasuk layanan Trauma Center dan instalasi rehabilitasi medik. Dengan dokter dari berbagai spesialisasi dan subspesialisasi termasuk Kedokteran Okupasi dan Rehabilitasi Medik, RSUI siap menjadi pusat rujukan Pusat Layanan Kecelakaan Kerja BPJS Ketenagakerjaan untuk PAK (ma).
Foto: Isitimewa