|
Potensi jumlah penduduk dan pengguna internet Indonesia jadi modal strategis dalam era bisnis digital secara global |
Jakarta (
IndonesiaMandiri) –
Pemerintah terus galakkan dinamika perekonomian nasionak di tengah pandemi Covid-19 yang berdampak ke semua sektor kehidupan. Termasuk dalam hal ini Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Seperti yang dilakukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, baru saja gelar diskusi daring Regulasi Ekonomi Digital, guna menghimpun masukan dan membantu pemangku kebijakan dalam menetapkan regulasi yang mengelola perpajakan ekonomi digital dalam PMSE.
Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kemenparekraf Ari Juliano Gema, dalam diskusi yang bertema “Bagaimana Kebijakan Perpajakan Mengantisipasi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik?”, beberapa waktu lalu menyebut, “untuk mendapatkan gambaran mengenai kebijakan pemerintah saat ini dan kebijakan yang mungkin akan diambil oleh pemerintah ke depan dalam mengatur kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik, mengingat perkembangan ekonomi digital yang sangat pesat.”
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara, khususnya transaksi e-commerce, pada 2019 mencapai 100 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, sebesar 40% berasal dari Indonesia. “Bank Indonesia mencatat, di tahun 2019, jumlah transaksi e-commerce di Indonesia setiap bulannya mencapai Rp13 triliun,” ujar Ari.
“Salah satu isu perpajakan dalam PMSE lintas batas negara saat ini adalah bahwa barang tidak berwujud dan jasa dari luar negeri yang masuk melalui internet di suatu negara tidak dikenakan tarif impor, yang umumnya terdiri dari bea masuk, PPN (pajak pertambahan nilai), dan PPh (pajak penghasilan),” jelas Ari Juliano. Hal ini tentu mengurangi kesempatan negara untuk memperoleh pendapatannya.
Menurut Ari, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 269,600,000 jiwa dan pengguna internet sebanyak 175,4 juta, maka bisa dilihat Indonesia memiliki jumlah penduduk besarn dengan pengguna internet aktifnyasangat tinggi. Ini merupakan aset yang memiliki nilai ekonomi dan seharusnya memberikan kontribusi yang cukup tinggi kepada negara.
Banyaknya jumlah pengguna internet di suatu negara umumnya berbanding lurus dengan banyaknya data pengguna platform yang dikelola penyelenggara PMSE. Data pengguna dari berbagai negara pada kenyataannya merupakan aset yang dikuasai dan dikelola pemilik platform untuk memperoleh manfaat ekonomi dari investor dan pengembangan usahanya, tetapi belum tersentuh dalam perhitungan perpajakan.
“Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus berani mengusulkan model perhitungan dan pemungutan PPh berbasis data pengguna tersebut untuk menjadi konsensus internasional demi kebijakan perpajakan yang adil,” terang Ari. Apabila secara global telah dicapai konsensus mengenai satu tarif PPh yang akan dipungut satu kali untuk seluruh negara, maka hal itu dapat dikenakan kepada perusahaan pengelola platform PMSE yang tidak ada keberadaan fisiknya, tetapi signifikan keberadaannya secara ekonomi di suatu negara.
Hasil pungutan pajak tersebut nantinya dapat dibagi secara proporsional kepada tiap negara sesuai besarnya jumlah data pengguna dari masing-masing negara yang dikelola pemilik platform tersebut. Semakin besar jumlah data pengguna dari suatu negara, maka tentu akan semakin besar juga porsi pungutan pajak yang diterima negara tersebut.
Usulan perhitungan PPh dengan berbasiskan data pengguna tersebut dapat menghindari pengenaan pajak berlipat-lipat kepada pemilik platform akibat akumulasi pengenaan PPh secara sepihak oleh masing-masing negara.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan seluruh dunia sudah melihat, tren ekonomi digital semakin kuat. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pada physical presence dalam konteks perpajakan dan konteks fiskal,” ucap Febrio. Pemerintah saat ini, lanjut Febrio, masih mempelajari perpajakan ekonomi digital. Namun, mulai 1 Juli 2020, Pemerintah telah mengenakan PPN atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan jasa kena pajak dari luar dan dalam daerah pabean melalui PMSE.
“Selaras dengan PPN, langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk mengenakan PPh merupakan hal yang wajar dan telah dilakukan oleh negara-negara lain, seperti Israel, India, Inggris, Australia, Canada, Meksiko, Brazil, dan Turki,” papar Febrio.
UU Nomor 2/2020 menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengenakan PPh dan PTE (pajak transaksi elektronik) atas penghasilan dari ekonomi digital dengan tidak lagi mendasarkan pada physical presence melainkan ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Lalu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan, akan terus menyempurnakan konsep aturan pelaksaanaan pengenaan PPh dan PTE atas transaksi digital dalam forum internasional guna mencapai dan mendukung adanya konsensus global 2020, serta melakukan analisis mendalam atas potensi pajak ekonomi digital (ma/ag).