Orang Rimba saat diajari memakai masker oleh staf Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi ( IndonesiaMandiri ) – Sejak merebaknya Covid-19,...
Orang Rimba saat diajari memakai masker oleh staf Taman Nasional Bukit Duabelas |
"Orang rimba masih memegang tradisi yang merupakan kearifan leluhur, termasuk budaya menyendiri di dalam hutan, yang saat ini ternyata dapat dianalogikan dengan istilah work from home/WFH, social distancing atau physical distancing," tutur Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KSDAE-KLHK, Wiratno, (16/4).
Di Indonesia, kata Wiratno, terdapat kekayaan berupa ribuan praktik tradisional yang selaras dengan alam. Misalnya yang dijalankan suku Mentawai yang tak pernah memakai api untuk penyiapan lahan garapnya. Ada juga suku Daya yang memiliki sistem siklus Bera berhutan dari sistem ladangnya. Di wilayah Maluku dan Papua ada sistem Sasi, yaitu menghemat pengambilan sumberdaya laut dalam jangka tertentu. Nilai-nilai adat budaya ini menjadi fondasi dalam konservasi di era modern.
"Pandemi Covid-19 ini, seperti sebuah momentum kita untuk lebih arif dalam kehidupan di bumi, yang ternyata memerlukan istirahat dari gegap gempitanya kegiatan manusia yang seolah-olah tanpa henti. Dari Orang Rimba, kita belajar kembali kepada alam, dan mengikuti hukum-hukumNya," ungkapnya. Tentang “Besesandingon,” Kepala Balai TNBD Haidir menyampaikan, kebiasaan ini sudah dilakukan turun temurun, dan merupakan salah satu kearifan lokal Orang Rimba. Ini dilakukan untuk menjauhi keramaian, agar tak terkena wabah penyakit.
Orang rimba juga dapat pendidikan di tengah hutan |
“Budaya mitigasi yang melekat pada suku anak dalam itu yang mereka sebut “Besesandingon”. Kearifan lokal ini, menjadi hal yang sangat relevan dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini,” jelas Haidir. Menurut Temenggung Bepayung, dan mantan Temenggung Tarib yang sekarang menjadi tetua adat, orang rimba sudah terbiasa jalani "Besesandingon", yaitu memisahkan diri atau menjauhkan diri dari orang sakit atau diduga mengidap penyakit menular, termasuk penyakit pilek dan batuk. Jadi begitu mereka mengetahui tentang penyakit korona, respon yang sama dilakukannya.
“Contoh, zaman dulu jika ada yang sakit batuk saja, itu tidak boleh melewati jalan yang biasa dilewati di dalam hutan. Kalaupun terpaksa, si penderita penyakit tersebut harus memberi tanda di ujung dan pangkal jalan, bahwa jalan tersebut baru saja dilewati oleh orang sakit. Sehingga jalan tersebut tidak boleh dilewati orang lain yang sehat, selama minimal 7 hari atau 1 minggu. Tanda yang biasa dipasang di ujung atau pangkal jalan adalah ranting pohon atau kayu berduri,” jelasnya.
Meski adat ini sudah banyak dilanggar generasi sekarang, "besesandingon" masih dijalankan hampir seluruh kelompok Orang Rimba di TNBD. Menurut Haidir, pihaknya berupaya untuk membantu menjaga, dan melestarikan kearifan lokal suku anak dalam di bidang kesehatan ini. Suku anak dalam di kawasan TNBD ada 13 kelompok Temenggung, dengan 718 KK dan 2.960 jiwa (Hasil sensus TNBD bersama BPS Sorolangun, April 2018).
Selain itu, TNBD juga membuat Sekolah Rimba, berjumlah 6 sekolah di 3 Kabupaten. Pertama, di Kabupaten Sarolangun yaitu Sekolah Rimba Pintar Sungai Kuning, dan Sekolah Rimba Sako Selensing. Selanjutnya, di Kabupaten Batanghari yaitu Sekolah Rimba Kejasung, dan Sekolah Rimba Srengam. Sedangkan di Kabupaten Tebo yaitu Sekolah Rimba Sako Nini Tuo, dan Sekolah Rimba Sungai Betnai. "Kami juga mempunyai program "mobile school" atau sekolah berjalan, mengikuti kelompok orang rimba yang sedang melakukan ritual melangun," ungkap Haidir (ma).