Jakarta (IndonesiaMandiri) - "Upaya menjaga kelestarian burung air perlu dukungan dan keterlibatan berbagai pihak. Selain itu, perlu ...
Jakarta (IndonesiaMandiri) - "Upaya menjaga kelestarian burung air perlu dukungan dan keterlibatan berbagai pihak. Selain itu, perlu dilakukan melalui upaya yang berbasis masyarakat setempat," ucap Wiratno, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam&Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan/KSDAE-KLHK, saat membuka acara Bedah Buku “Konservasi Burung Air, Perjuangan Melawan Kepunahan” karya Profesor Hadi Sukadi Alikodra, di Jakarta (16/10).
Dalam buku yang terdiri dari tujuh bab ini, dikemukakan tentang Indonesia sebagai salah satu wilayah perlindungan burung air serta wilayah penting bagi jalur terbang (flyway) dari 121 jenis burung air, yang bermigrasi dari benua bagian utara ke benua bagian selatan.
Itu sebabnya, menurut Dirjen KSDAE-KLHK, komitmen Indonesia untuk ikut melindungi flyway tersebut dinyatakan dengan bergabung ke dalam jaringan kerja para mitra Jalur Terbang Asia Timur – Australasia (EAAFP) dan menjadi anggota sejak awal pembentukan pada 2006.
Wiratno menyebutkan, kesuksesan kampung ramah burung di Desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DIY, patut menjadi salah satu pembelajaran. Disana merupakan salah satu contoh gerakan masyarakat yang mencoba menyelamatkan berbagai jenis burung. “Sama seperti kita mempunyai hak untuk hidup, burung juga mempunyai hak untuk terbang, dan kita hanya menikmatinya dari jauh," pesan Wiratno.
Buku ini antara lain mengungkapkan biologi dan ekologi burung air, kelestarian lahan basah dan habitat burung air, migrasi burung air, serta aspek-aspek konservasi bagi upaya pelestarian burung air. Ditegaskan juga bahwa restorasi ekosistem lahan basah sebagai habitat burung air, termasuk lahan gambut, sangat diperlukan.
Agustinus Gusti Nugroho, akrab disapa Nugie, juga hadir dalam acara bedah buku ini. "Jadi saya mempunyai pengalaman spiritual yang dekat dengan spesies burung ini. "Burung Garuda", "Burung Camar", dan lagu ciptaan saya "Burung Gereja", moga-moga nanti ada lagu "Burung Air", yang dijadikan salah satu ornamen dunia musik yang mengangkat tema burung di Indonesia," ungkapnya.
Selain Nugie, narasumber pada bedah buku ini berasal dari kalangan akademisi yaitu Prof. Azyumardi Azra, Prof. Ani Mardiastuti, Prof. Rudy C. Tarumingkeng, dan Head of Programme Wetlands International Indonesia Yus Rusila Noor (dk).
Foto: Dok. KLHK
Dalam buku yang terdiri dari tujuh bab ini, dikemukakan tentang Indonesia sebagai salah satu wilayah perlindungan burung air serta wilayah penting bagi jalur terbang (flyway) dari 121 jenis burung air, yang bermigrasi dari benua bagian utara ke benua bagian selatan.
Itu sebabnya, menurut Dirjen KSDAE-KLHK, komitmen Indonesia untuk ikut melindungi flyway tersebut dinyatakan dengan bergabung ke dalam jaringan kerja para mitra Jalur Terbang Asia Timur – Australasia (EAAFP) dan menjadi anggota sejak awal pembentukan pada 2006.
Wiratno menyebutkan, kesuksesan kampung ramah burung di Desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DIY, patut menjadi salah satu pembelajaran. Disana merupakan salah satu contoh gerakan masyarakat yang mencoba menyelamatkan berbagai jenis burung. “Sama seperti kita mempunyai hak untuk hidup, burung juga mempunyai hak untuk terbang, dan kita hanya menikmatinya dari jauh," pesan Wiratno.
Buku ini antara lain mengungkapkan biologi dan ekologi burung air, kelestarian lahan basah dan habitat burung air, migrasi burung air, serta aspek-aspek konservasi bagi upaya pelestarian burung air. Ditegaskan juga bahwa restorasi ekosistem lahan basah sebagai habitat burung air, termasuk lahan gambut, sangat diperlukan.
Agustinus Gusti Nugroho, akrab disapa Nugie, juga hadir dalam acara bedah buku ini. "Jadi saya mempunyai pengalaman spiritual yang dekat dengan spesies burung ini. "Burung Garuda", "Burung Camar", dan lagu ciptaan saya "Burung Gereja", moga-moga nanti ada lagu "Burung Air", yang dijadikan salah satu ornamen dunia musik yang mengangkat tema burung di Indonesia," ungkapnya.
Selain Nugie, narasumber pada bedah buku ini berasal dari kalangan akademisi yaitu Prof. Azyumardi Azra, Prof. Ani Mardiastuti, Prof. Rudy C. Tarumingkeng, dan Head of Programme Wetlands International Indonesia Yus Rusila Noor (dk).
Foto: Dok. KLHK