Depok ( Indonesia Mandiri ) - Menyimak penggunaan Bahasa Alay, banyak orang yang menganggapnya biasa saja, atau baik-baik saja. Bahkan ada ...
Depok (Indonesia Mandiri) - Menyimak penggunaan Bahasa Alay, banyak orang yang menganggapnya biasa saja, atau baik-baik saja. Bahkan ada seorang Menteri dalam sebuah acara terkenal, yang justru melihatnya sebagai pengayaan bahasa itu sendiri. Mungkin Menteri tadi tidak mau, atau memang sengaja mengecohkan kita untuk tidak mengerti makna "Bahasa dalam Pembentukan Karakter sebuah Bangsa". Yang intinya, menganalisa sebuah bahasa bukan saja dilihat dari banyak tidaknya kosa katanya semata, apakah bahasa tersebut dapat disebut sebagai Bahasa yang baik dan lengkap.
Kalau kita mau berfikir sedikit saja, maka penggunaan Bahasa Alay bukanlah seolah mereka (Kelompok Kepentingan) hanya mengubah-ubah kosa kata menurut zamannya saja. Tetapi Bahasa Alay memiliki dampak psikologis bagi yang menggunakan Bahasa Alay tersebut, maupun bagi yang mendengarnya. Saya ingin mengajak Anda sejenak, ketika Anda mendengar kalimat "Cius Mi Apa?" (Serius demi apa?) Apakah yang berpengaruh pada otak Anda?
Sadar atau tidak, Anda pasti memposisikan yang bicara adalah, kalau tidak anak kecil, pasti seorang wanita muda. Nah inilah yang saya maksud dengan kedasyatan Bahasa dalam Pembentukan Karakter sebuah Bangsa. Kalau Bahasa Alay ini diteruskan, maka tak ayal, Pria-pria berotot sekalipun - lama-kelamaan akan menjadi feminin juga.
Apalagi banyak stasiun TV Swasta Nasional yang sengaja mempekerjakan laki-laki Alay untuk menjadi penonton yang meramaikan acara TV ybs. Disinilah TV-TV Swasta tersebut berhasil "Mencetak Pria-pria Feminin", sehingga muncul pula (Alm) Tokoh Alay yang laku keras. Sebenarnya ini termasuk tugas para ahli Psikologi Bahasa dari KPI, untuk melarang tayangan-tayangan yang merusak nilai-nilai Leluhur kita.
Yang lebih parahnya lagi, di Indonesia ini wanita diposisikan, atau sengaja memposisikan dirinya sebagai kaum yang tidak perlu berusaha. Untuk lebih jelasnya mungkin Anda dapat membaca E-Book Susu Kaleng.
Baiklah kita coba tengok sedikit kebelakang, saat saya masih kecil - sekitar tahun 1978-an berkembang "Bahasa Prokem", kakak saya atau bahkan om saya suka mengakatan kata "Ogut" untuk arti kata "Gue" dlsb yang saya sudah lupa. Sebagai perempuan kecil saja saya masih merasa "Bahasa Prokem" justru memiliki nuansa maskulin, memang saat itu pun yang banyak memakainya kaum lelaki juga. Jadi Bahasa Prokem sangatlah beda dengan Bahasa Alay. Sama-sama kebanyakan lelaki yang menggunakan, tetapi dampaknya sangat beda.
Menilik dua masa penggunaan "Bahasa Buatan" tersebut di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa pihak-pihak berkepentingan menghembuskan angin perubahan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya sengaja tidak ingin menggambarkannya secara gamblang, agar bagi Anda yang memang cinta dengan Bangsa ini, mencoba mencari tahu ada apa dalam dua masa tersebut, dan apakah benar ada dampak dari Bahasa dalam Pembentukan Karakter sebuah Bangsa... (Nahwiyatun)